Induk sapi melahirkan pedet kembar memang tragedi yang jarang terjadi dan kalau terjadi secara alamiah tentu akan menguntungkan peternak sapi lokal. Bisakah potensi kelahiran kembar pedet direkayasa secara teknologi tertentu dan tidak hany mengandalkan kelahiran pedet kembar secara alamiah?
Pertanyaan ini ketika ini sudah mulai terjawab dengan berkembangnya teknologi Embrio Transfer yang bisa "mengusahakan" semoga sapi indukan bisa bunting pedet 2 - 3 ekor dalam satu kali melahirkan. Hanya saja masih banyak faktor pendukung yang perlu difikirkan sehabis bisa mengusahakan sapi melahirkan kembar maka tingkat mortalitas pedet kembar hasil teknologi rekayasa ini harus bisa ditekan serendah mungkin semoga biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan teknologi yang cukup mahal ini bisa hemat dan bisa diterapkan secara luas.
Kebutuhan daging sapi di Indonesia meningkat dari 367.000 ton tahun 2009 menjadi lebih dari 420.000 ton tahun 2014. Peternak hanya bisa memproduksi 292.000 ton per tahun. Untuk itu, pemerintah masih harus melaksanakan impor.
Populasi sapi di Indonesia belum memadai. Sensus tahun 2011 oleh Badan Pusat Statistik, tercatat 15,4 juta ekor. Untuk meningkatkan populasi dan produksi daging sapi, pemerintah mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun 2014. Targetnya, memenuhi 90 persen kebutuhan konsumsi daging sapi.
Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi, Indonesia masih mengimpor sekitar sepertiga dari total kebutuhan. Agar mandiri, banyak sekali teknik reproduksi dikembangkan untuk meningkatkan populasi sapi. Salah satunya dengan teknik rekayasa genetika untuk mendapat kelahiran kembar.Secara alami, sapi betina hanya melahirkan seekor anak per tahun. Untuk memacu perkembangbiakan sapi, dilakukan serangkaian teknik rekayasa, ibarat pemuliaan ternak, inseminasi buatan (IB), transfer embrio (TE), dan mikromanipulasi embrio dengan rekayasa genetika. Hal itu dikatakan pakar bioteknologi reproduksi Baharuddin Tappa dari Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Peristiwa kelahiran kembar sudah diamati oleh akademisi dan saintis lebih dari lima dekade yang lalu. Salah satunya ialah yang dilakukan oleh Asdell pada tahun 1946 dalam bukunya ”Patterns of mamalian reproduction” yang disitasi oleh Anderson (1956) dalam laporannya ”Quintuplet Births in an Angus Cow” bahwa dari 14.111 kelahiran pada sapi Brown Swiss terdapat 2.2% kelahiran kembar sedangkan pada sapi potong frekuensi kelahiran kembar sebesar 0.44%.Inseminasi buatan dilakukan dengan menyuntikkan sperma ke rahim memakai alat bantu. Teknik ini diperkenalkan di Indonesia oleh Prof B Seith dari Denmark tahun 1953, dilanjutkan peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI bekerja sama dengan Peternakan Tri ”S”, Tapos, tahun 1990.
Adapun TE merupakan generasi kedua bioteknologi reproduksi. Sapi betina diberi hormon kesuburan sehingga menghasilkan sel telur dalam jumlah besar.
Sel telur kemudian dibuahi dengan spermatozoa sapi unggul melalui teknik IB. Embrio yang terbentuk ditransfer ke induk akseptor hingga terjadi kelahiran. Menurut Syahruddin Said, peneliti Bioteknologi Reproduksi Ternak LIPI, selain sanggup meningkatkan angka kelahiran, rekayasa ini juga memperbaiki mutu genetik.
Teknik baru
Sewindu kemudian diintroduksi teknik gres untuk memacu perkembangbiakan sapi, antara lain teknik sexing (pemisahan kromosom X dan Y pada sperma) dan teknik rekayasa reproduksi kelahiran kembar. Demikian dikatakan Baharuddin, Kepala Laboratorium Reproduksi dan Kultur Sel Hewan Puslit Bioteknologi LIPI.
Uji coba proteksi semen kromosom X yang dihasilkan dari teknik sexing sperma dengan cara inseminasi buatan dilakukan di Jawa Barat untuk menghasilkan hibrida sapi perah (betina). Adapun penggunakan semen kromosom Y sapi Simental di Sumatera Barat bertujuan untuk meningkatkan populasi sapi potong (jantan).
Dari hasil uji coba diperoleh persentase 80-90 persen dari anak yang lahir sesuai keinginan, jantan atau betina, kata Baharuddin.
Penerapan kombinasi teknik IB, TE, dan sexing sperma menghasilkan hibrida sapi perah di Jawa Barat serta sapi potong di Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat. Dengan teknik tersebut, tiap sapi pejantan menghasilkan semen 10.000-20.000 takaran per tahun. Tahun 2010 sanggup diproduksi 5,2 juta takaran semen beku. Jumlah semen itu sanggup membuntingkan 2,6 juta sapi.
Sapi kembarSeleksi sifat kelahiran kembar dan perbaikan administrasi pakan dan pemeliharaan terbukti sanggup meningkatkan peluang kelahiran. Amerika Serikat merupakan pioner pengembangan kegiatan kelahiran kembar. Meat Animal Research Centre Nebraska forum penelitian dibawah United State Department of Agrigultural (USDA-MARC) memulai kegiatan pedet lahir kembar pada tahun 1984 dengan menerapkan seleksi sifat kembar, perbaikan administrasi proteksi pakan dan pemeliharaan. Echternkamp dan Gregory (2002) dalam makalahnya berjudul “Reproductive, growth, feedlot, and carcass traits of twin vs single births in cattle” melaporkan bahwa pada awal proyek frekuensi kelahiran kembar pada betina produktif yang ada di stasiun penelitian USDA-MARC Nebraska hanya 4%, kemudian melalui seleksi dan perbaikan administrasi pemeliharaan dan pakan frekuensi kelahiran kembar meningkat rata-rata sebesar 3.1% per tahun atau pada tahun 2000, sebanyak 50% dari betina produktif yang ada di stasiun penelitian Nebraska melahirkan kembar. Selanjutnya Echternkamp et al. (2007) pada publikasinya berjudul “Effects of ovulation rate and fetal number on fertility in twin-producing cattle” menyampaikan bahwa pada populasi sapi yang mempunyai gen dengan sifat kelahiran kembar perbaikan administrasi akan sanggup meningkatkan frekuensi ovulasi kembar pada satu siklus oestrus sehingga tragedi kelahiran kembar juga meningkat.
Teknologi reproduksi gres ialah menghasilkan kelahiran sapi kembar dengan kombinasi IB, TE, serta mikromanipulasi embrio dengan teknik pembelahan embrio.
Secara alamiah, kelahiran sapi kembar jarang terjadi. Menurut Baharuddin, frekuensi kelahiran kembar dari banyak sekali ras sapi sebesar 0,5-9 persen. Ada tiga cara semoga sapi lahir kembar. Pertama dengan cara seleksi, yaitu mengawinkan sapi berketurunan kembar. Kedua secara genetik, dengan deteksi ada tidaknya gen kembar. Ketiga dengan manipulasi reproduksi, yakni proteksi hormon supaya menghasilkan lebih dari 1 sel telur untuk dibuahi dengan spermatozoa hasil pemisahan kromosom.
Embrio hasil pembuahan akan membelah menjadi dua sel sehabis dua hari. Dengan mikromanipulator, dua sel berukuran sekitar 100 mikron itu dipisahkan, kemudian dikultur empat hari hingga mencapai stadium blastula matang dan siap dimasukkan di sisi kiri dan kanan rahim.
Teknik lain, perpaduan IB dan transfer embrio. Secara simultan dilakukan pembuahan dengan kawin suntik dan pembuahan di luar. Setelah seminggu, embrio dari pembuahan luar dimasukkan di belahan rahim yang masih kosong.
Teknik rekayasa reproduksi mulai dilakukan tahun 2004. Untuk menghasilkan turunan kembar dari sapi perah, uji coba dilakukan di Jawa Barat, antara lain Garut, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Bogor. Untuk menghasilkan sapi potong dilakukan di Enrekang, Sulawesi Selatan; Payakumbuh dan Agam, Sumatera Barat; serta Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Meski teknik ini telah diaplikasikan secara komersial, masih ada faktor pembatas, ibarat tingkat kerusakan pembelahan sel embrio masih tinggi. ”Kelemahan teknik ini terus diperbaiki dan diatasi dengan teknik transfer inti,” ujar Baharuddin, yang menjadi Ketua Kelompok Penelitian Bioteknologi Reproduksi semenjak tahun 2001.
Dengan rekayasa genetika, perkembangbiakan sapi sanggup dipercepat. Namun, itu saja tidak cukup. Diperlukan pengenalan teknologi pendukung kepada peternak, antara lain proteksi pakan dan obat serta pemeliharaan yang baik. (Referensi Kompas.com)
Fenomena "Kelahiran Sapi Kembar" dan Peluang Pengembangannya di Nusa Tenggara Barat
Twinning cattle atau sapi lahir kembar merupakan salah satu kegiatan unggulan dan sekaligus merupakan terobosan dari Badan Litbang Pertanian berpartisipasi dalam upaya mengatasi kekurangan pasokan daging dan memperbaiki kondisi ketahanan pangan nasional sehingga pada waktunya nanti swasembada daging sanggup terwujud. Secara alamiah tragedi kelahiran kembar sangat jarang terjadi sehingga memunculkan banyak sekali komentar yang cenderung skeptis terhadap peluang pemanfaatan tehnologi kelahiran kembar sebagai upaya terobosan untuk meningkatkan produksi sapi dan daging nasional. Tulisan ini akan menguraikan secara singkat fenomena kelahiran kembar dan peluang peningkatan frekuensi kelahiran kembar pada sapi betina produktif pembawa sifat kembar sehingga teknologi kelahiran kembar sanggup dipertimbangkan menjadi salah satu opsi untuk meningkatkan produksi daging nasional. Peristiwa kelahiran kembar sudah diamati oleh akademisi dan saintis lebih dari lima dekade yang lalu. Salah satunya ialah yang dilakukan oleh Asdell pada tahun 1946 dalam bukunya ”Patterns of mamalian reproduction” yang disitasi oleh Anderson (1956) dalam laporannya ”Quintuplet Births in an Angus Cow” bahwa dari 14.111 kelahiran pada sapi Brown Swiss terdapat 2.2% kelahiran kembar sedangkan pada sapi potong frekuensi kelahiran kembar sebesar 0.44%. Selanjutnya Arthur et al. (1996) dalam bukunya “Veterinary Reproduction and Obstetrics” mengumpulkan data frekuensi kelahiran kembar dari banyak sekali ras sapi, baik ras sapi potong maupun ras sapi perah yang berkisar antara 0.5 hingga 9%.Frekuensi kelahiran kembar pada banyak sekali ras sapi
Kelahiran kembar sanggup terjadi lantaran superfetasi, superovulasi dan pembelahan zigot menjadi dua individu gres segera sehabis pembuahan. Kelahiran kembar superfetasi secara ilmiah tidak dikategorikan kedalam tragedi kembar. Kembar superfetasi terjadi lantaran sapi betina yang sudah kawin dan bunting kemudian pada umur ke 7 - 14 hari kebuntingannya kembali memperlihatkan gejala birahi. Sapi betina bunting muda dan birahi kembali ini dikawinkan dan mengalami kebuntingan susulan inilah yang disebut kembar superfetasi. Dengan demikian umur kedua embrio yang ada di dalam rahim tidak sama sehingga waktu kelahiran pedet juga cenderung mempunyai rentang waktu ibarat dengan waktu kawin. Secara umum diperkirakan frekuensi birahi kembali pada bunting muda sanggup mencapai 1-2% dari total kebuntingan. Kembar superovulasi terjadi lantaran terdapat dua atau lebih sel telur yang matang dan dibuahi dalam satu siklus birahi. Peristiwa superovulasi sanggup berasal dari satu ovarium baik ovarium kanan atau kiri yang menghasilkan dua telur yang matang dalam satu siklus birahi atau kedua ovarium masing-masing menghasilkan satu telur yang matang dalam satu siklus birahi yang terakhir lazim disebut dengan superovulasi bilateral. Kelahiran kembar dari tragedi superovulasi disebut juga kembar fraternal. Pada tragedi kembar superfetasi dan superovulasi, pembuahan sel telur terjadi oleh spermatozoa yang berbeda sehingga jenis kelamin pedet yang dilahirkan sanggup saja sama yaitu keduanya jantan (xy) atau keduanya betina (xx) atau satu jantan (xy) dan satu betina (xx). Jika pedet kembar superovulasi dengan jenis kelamin yang berbeda, maka pedet betina pada waktu sampaumur cenderung menjadi mandul. Peristiwa ini disebut premartin disebakan terjadinya pencampuran hormon kelamin jantan dan betina pada awal pertumbuhan embrio yang menggangu pertumbuhan organ kelamin dari embrio yang betina. Sedangkan tragedi mandul dari kelahiran kembar superfetasi sejauh ini belum pernah dilaporkan.Kembar monozigotik atau kembar yang berasal dari satu telur yang sama sering juga disebut kembar identik artinya kedua individu mempunyai sifat genetik yang sama sehingga penampilan fenotifnya hampir tidak ada perbedaan. Kembar monozigotik terjadi lantaran terjadinya pembelahan sel menjadi dua individu segera sehabis sel telur dibuahi oleh spermatozoa. Belum terdapat kesepakatan penyebab utama kelahiran kembar monozigotik. Gleeson et al. (1994) pada makalahnya “Monozygotic twinning: An evolutionary hypothesis” meyakini bahwa kembar monozigotik disebabkan oleh adanya sifat genetik (twinning allele) pada gen yang menimbulkan terjadinya pembelahan embrio atau zigot menjadi dua individu segera sehabis sel telur dibuahi oleh spermatozoa. Alternatifnya, dengan jumlah penganut yang lebih besar menyatakan bahwa pembelahan zigot yang terjadi segera sehabis pembuahan oleh spermatozoa disebabkan oleh adanya gangguan pada terusan reproduksi yang merangsang terjadinya pembelahan zigot. Terlepas dari kedua argumentasi perihal terjadinya kembar monozigotik, Gleeson et al. (1994) melaporkan bahwa frekuensi tragedi kembar identik berkisar antara 5 – 12% dari kelahiran kembar dengan jenis kelamin yang sama. Kelahiran kembar secara umum diyakini merupakan tragedi yang dipengaruhi sifat genetik kembar yang pemunculannya sangat bergantung pada lingkungan dan salah satu faktor lingkungan yang paling besar lengan berkuasa ialah lingkungan pakan. Kirpatrick dari “Winconsin Agricultural College and Life Sciences” menyampaikan bahwa sifat genetik kelahiran kembar atau sifat genetik superovulasi terdapat pada kromosom 5, 7 dan 19. Jika gen superovulasi yang terdapat pada kromosom 19 dimiliki oleh seekor induk maka terdapat peluang 10% dari induk tersebut untuk melahirkan kembar dan kalau pada kromosom 5 dan 7 juga terdapat gen bersifat superovulasi maka peluang untuk melahirkan kembar meningkat hingga 13%. Seleksi sifat kelahiran kembar dan perbaikan administrasi pakan dan pemeliharaan terbukti sanggup meningkatkan peluang kelahiran. Amerika Serikat merupakan pioner pengembangan kegiatan kelahiran kembar. Meat Animal Research Centre Nebraska forum penelitian dibawah United State Department of Agrigultural (USDA-MARC) memulai kegiatan pedet lahir kembar pada tahun 1984 dengan menerapkan seleksi sifat kembar, perbaikan administrasi proteksi pakan dan pemeliharaan. Echternkamp dan Gregory (2002) dalam makalahnya berjudul “Reproductive, growth, feedlot, and carcass traits of twin vs single births in cattle” melaporkan bahwa pada awal proyek frekuensi kelahiran kembar pada betina produktif yang ada di stasiun penelitian USDA-MARC Nebraska hanya 4%, kemudian melalui seleksi dan perbaikan administrasi pemeliharaan dan pakan frekuensi kelahiran kembar meningkat rata-rata sebesar 3.1% per tahun atau pada tahun 2000, sebanyak 50% dari betina produktif yang ada di stasiun penelitian Nebraska melahirkan kembar. Selanjutnya Echternkamp et al. (2007) pada publikasinya berjudul “Effects of ovulation rate and fetal number on fertility in twin-producing cattle” menyampaikan bahwa pada populasi sapi yang mempunyai gen dengan sifat kelahiran kembar perbaikan administrasi akan sanggup meningkatkan frekuensi ovulasi kembar pada satu siklus oestrus sehingga tragedi kelahiran kembar juga meningkat. Dengan diketahuinya bahwa gen sifat kembar berada pada kromosom 5, 7 dan 19, USDA-MARC membuatkan alat DNA test untuk mendeteksi apakah betina yang pernah beranak kembar mempunyai sifat gen kembar atau tidak dan mendeteksi anak yang dilahirkan membawa gen kembar atau tidak. Penggunaan alat DNA test ini memudahkan pengembangan kegiatan twinning cattle termasuk di Indonesia nantinya kalau kelahiran kembar kemudian dijadikan pilihan untuk meningkatkan produktivitas induk dan produksi daging nasional. Sapi Bali merupakan salah satu ras sapi orisinil Indonesia yang diperkirakan juga mempunyai potensi melahirkan kembar. Hasil pengamatan sementara pada sistim pemeliharaan intensif di kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Barat pada beberapa kecamatan yang diobservasi diperoleh isu sebanyak 4 hingga 5 tragedi kelahiran kembar. Kejadian kelahiran kembar juga dilaporkan terdapat di kabupaten Sumbawa Barat, Sumbawa dan Dompu. Potensi kembar dari pengamatan sekilas ada pada sapi Bali di NTB. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat peluang melahirkan kembar pada sapi Bali sehingga kalau lahir kembar ini dilirik sebagai salah satu pilihan untuk memperbaiki produksi sapi di Bumi Sejuta Sapi setidaknya sudah ada landasan berpijak yang kokoh. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat (BPTP-NTB) berada digaris depan untuk memulai kegiatan penelitian sapi lahir kembar di Bumi Sejuta Sapi. Program penelitian kelahiran kembar ini dimulai dari pemetaan wilayah kelahiran kembar, identifikasi pakan pada lokasi tragedi kembar dan identifikasi sosial dan ekonomi pada peternak kasus terjadinya kelahiran kembar untuk mendapat isu penciri utama dari tragedi kelahiran kembar. Pada waktu yang bersamaan juga akan dilakukan pengkajian pengunaan Folicle Stimulating Hormon (FSH) atau Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG) untuk menghasilkan kelahiran kembar di Kebun Percobaan BPTP-NTB di Narmada. Kerjasama penelitian dengan Fakultas Peternakan UNRAM juga dijalin untuk mencari isu karakteristik jenis, komoditas pakan, pemeliharaan dan lingkungan sapi beranak kembar. Kerjasama penelitian dengan Fakultas Pertanian UNRAM juga dilakukan untuk mencari konsep pengembangan model komunikasi dan metode percepatan pencapaian adopsi teknologi sapi beranak kembar bila nanti paket teknologi sapi beranak kembar siap dimassalkan. (Referensi http://ntb.litbang.pertanian.go.id/fenomena-akelahiran-sapi-kembara-dan-peluang-pengembangannya) Provinsi Aceh mempunyai potensi pengembangan ternak sapi yang baik lantaran mempunyai padang penggembalaan yang mencapai 205.000 hektar yang tersebar di seluruh kabupaten, disamping banyaknya jumlah petani peternak yang membudidayakan ternak sapi sebagai sumber penghasilan. Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Aceh dalam bidang peternakan, khususnya dalam pengembangan ternak sapi ialah rendahnya populasi dan mutu genetik ternak sapi. Keadaan ini terjadi lantaran sebagian besar peternakan di Provinsi Aceh masih merupakan peternakan konvensional, dimana faktor mutu ternak bibit, penggunaan teknologi beternak dan keterampilan peternak masih sangat rendah (Djemaat, 2007). Kegiatan pemerintah daerah dalam upaya mencapai kecukupan daging bagi masyarakat luas pada tahun 2012 bertitik tolak kepada pembangunan daerah atau pusat peternakan berwawasan pemulia-biakan (breeding center) dengan didukung oleh kegiatan teknologi Inseminasi Buatan (IB) terencana dengan tujuan, antara lain: (1) meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak sapi Aceh dalam upaya pemenuhan kebutuhan kecukupan daging dalam daerah dan mengurangi impor menuju swasembada daging di Provinsi NAD, (2) meningkatkan pendapatan dan pemerataan kesempatan kerja atau berusaha melalui peningkatan populasi dan mutu genetik serta hasil ternak, (3) meningkatkan jumlah dan produktivitas ternak orisinil tanpa mengabaikan perjuangan untuk mempertahankan kelestarian dan kemurnian bangsa ternak orisinil secara selektif, dan (4) membuatkan daya dukung wilayah secara terpadu dengan sub-sektor lain, khususnya dalam meningkatkan jumlah dan mutu hijauan masakan ternak serta memperbaiki sumberdaya dan lingkungan hidup. Salah satu terobosan dalam upaya untuk meningkatkan produksi ternak sapi ialah dengan penggunaan teknologi pengembangan sapi beranak kembar (twinning technology). Teknologi produksi sapi kembar memperlihatkan paradigma gres dalam perjuangan pengembangan ternak sapi yang memperlihatkan peluang untuk meningkatkan efisiensi reproduksi dan efisiensi ekonomi usaha. Teknologi produksi sapi kembar akan sanggup mengurangi kebutuhan waktu, tenaga dan biaya dalam upaya peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani peternak (Echternkamp, 1992). Persyaratan awal untuk melaksanakan proses produksi sapi kembar ialah tersedianya ternak sapi yang mempunyai ovulasi kembar (twin ovulations) sehingga ternak sapi tersebut mempunyai peluang yang tinggi untuk beranak kembar (Echternkamp, 1992). Teknologi stimulasi melalui pakan dan lain-lain sanggup meningkatkan peluang bagi ternak sapi tersebut untuk beranak kembar. Oleh lantaran ketersediaan ternak sapi berpotensi beranak kembar masih sangat jarang dan belum banyak dikenal oleh masyarakat peternakan maka identifikasi daerah-daerah yang mempunyai potensi sapi beranak kembar perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum pengembangan perjuangan ternak dengan memakai teknologi sapi kembar dilaksanakan. METODOLOGI Identifikasi wilayah sapi beranak kembar dilakukan dengan memakai pendekatan dan teknik pemantauan cepat (rapid appraisal) yang mencakup (LCC, 1977): 1) Wawancara informan kunci (key informant interview) yang dilakukan terhadap individu responden yang sudah diseleksi dan dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam hal keadaan ternak sapi di wilayahnya. Wawancara bersifat kualitatif, mendalam dan semi-terstruktur. 3) Wawancara dengan kelompok masyarakat (community group discussion) yang dilakukan terhadap peternak, baik yang mempunyai ternak dengan kelahiran kembar maupun dengan peternak dengan kelaihran tunggal. 4) Pengamatan pribadi (direct observation) yang dilakukan dengan kunjungan lapangan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan perjuangan ternak sapi. Pelaksanaan penelitian dimulai pada Juni 2009 hingga Desember 2009 menurut tahapan-tahapan kegiatan. Pelaksanaan survey untuk identifikasi wilayah direncanakan pada Bulan Juli-September 2009 di wilayah potensi pengembangan ternak sapi di Provinsi NAD, yang meliputi: Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Lokasi survey ditentukan secara sengaja (purposive) menurut jumlah populasi ternak sapi terbanyak. Data sekunder merupakan data awal untuk penentuan kegiatan selanjutnya. Data tersebut dikumpulkan dari banyak sekali sumber dan diolah secara tabulasi untuk dilakukan analisis secara deskriptif. Data primer merupakan data yang dikumpulkan dari hasil survey di masing-masing lokasi. Data tersebut ialah hasil dari wawancara dengan informan kunci, diskusi kelompok dan masyarakat dengan memakai kuesioner dan daftar isian serta hasil pengamatan pribadi di lapangan. Data primer diolah secara deskriptif. Data primer yang dicari antara lain data populasi dan kepemilikan sapi petani, sejarah kelahiran sapi kembar di wilayah tersebut, tragedi kelahiran sapi kembar, kemungkinan penyebab terjadinya sapi lahir kembar, cara perkawinan (alam atau IB), wilayah kegiatan IB serta data-data lain yang sesuai dengan tujuan kegiatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi terhadap kelahiran sapi beranak kembar di 7 kabupaten pengembangan ternak sapi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam memperlihatkan bahwa selama periode waktu 2006-2009 terdapat 71 tragedi dengan sebaran ibarat terdapat pada Tabel 1 dan rincian ibarat terdapat pada Lampiran 1. Berdasarkan metode perkawinan yang dilakukan petani terhadap ternak sapi yang beranak kembar tersebut memperlihatkan bahwa sebanyak 79 persen merupakan hasil perkawinan alami dan 21 persen hasil inseminasi buatan (IB). Manajemen pemeliharaan ternak sapi yang mencakup perkandangan, penggembalaan, proteksi pakan, perawatan kesehatan, dan perkawinan yang dilakukan umumnya tidak berbeda antara peternak yang mempunyai sapi dengan kelahiran kembar dengan yang kelahiran tunggal. Hal ini terlihat dari tidak adanya perlakuan khusus yang diberikan oleh ternak dengan kelahiran kembar tersebut dalam hal pemeliharaan. Padahal, Kelahiran kembar merupakan peluang dalam meningkatkan efisiensi produksi ternak sapi bagi peternak yang mempunyai keterampilan dalam pengelolaan sapi kembar yang cenderung lebih memerlukan perhatian khusus (Komisarek dan Dorynek, 2002). Ternak sapi umumnya dipelihara untuk penghasil bakalan dan sebagian untuk penggemukan. Pada siang hari ternak sapi dilepas di padang penggembalaan dan dikandangkan pada malam hari. Pakan yang diberikan berupa hijauan yang dikumpulkan dari sawah dan kebun. Pemeliharaan kesehatan dibantu oleh petugas kesehatan binatang setempat dan perkawinan ketika sapi induk birahi dilakukan secara alami atau dengan inseminasi oleh petugas inseminator. Sebagian hasil kelahiran kembar tersebut mengalami kematian, baik ketika beberapa hari sehabis kelahiran akhir kekurangan supply susu dari induknya, maupun akhir serangan penyakit ternak pada umumnya. Demikian pula dalam hal pemasaran, peternak menjual ternaknya baik induknya maupun anak sapi yang sudah memliki nilai jual tinggi tanpa membedakan antara sapi yang berpotensi beranak kembar maupun hasil dari kelahiran kembarnya dengan sapi dengan kelahiran normal. Hal ini sanggup menimbulkan potensi genetik dari sapi yang berpotensi beranak kembar tersebut akan hilang. Tabel 1. Sebaran tragedi sapi beranak kembar di kabupaten terpilih di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam periode waktu 2006-2009.
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA Echternkamp, S.E. 1992. Fetal Development in Cattle with Multiple Ovulations. Journal of Animal Science 70: 2309-2321. Echternkamp, S.E. and K.E. Gregory. 2002. Reproductive, Growth, Feedlot and Carcass Traits of Twin Versus Single Births in Cattle. Journal of Animal Science 80: 1-10. Djemaat, Manan. 2007. Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi dan Kerbau dengan Teknologi Inseminasi Buatan Terjadwal. Makalah pada Temu Aplikasi Teknologi Pertanian Sub-sektor Peternakan, 14 Juli 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nanggroe Aceh Darussalam. Komisarek, Jolanta dan Dorynek, Zbigniew. 2002. “Genetic aspect of twinning in cattle”. Journal of Applied Genetics No. 43(1): 55-68 LCC (League of California Cities). 1977. “Problem Analysis: Data Collection Technique”, in Gilbert, Neil dan Harry Specht, “Planning for Social Welfare: Issues. Models and Tasks”. Prentice-Hall. New Jersey. Lampiran 1. Lokasi teridentifikasi mempunyai ternak sapi berpotensi beranak kembar di Pripinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Lanjutan Lampiran 1.
Keterangan: 1. Kelahiran sapi kembar yang masih dipelihara oleh petani ketika dilaksanakan pendataan terdiri dari sapi induk dan atau anak sapi kelqahiran kembar. 2. Kelahiran kembar yang tidak lagi dipelihara oleh peternak disebabkan lantaran ternak indukdan atau anak sapi kelahiran kembar telah dijual atau mati. (Referensi litbang peternakan Aceh) Induk sapi melahirkan pedet kembar memang tragedi yang jarang terjadi dan kalau terjadi secara alamiah tentu akan menguntungkan peternak sapi lokal. |
0 comments:
Post a Comment